Selasa, 17 April 2018

Kuliner Dua keluarga




Kuliner adalah hasil olahan yang berupa masakan. Masakan tersebut berupa lauk pauk, makanan (penganan), dan minuman. Itu adalah definisi kuliner yang ku dapat di internet. Hehehe….

Aku kurang cakap membahas kuliner, sebab aku terlahir di kota santri yang wisata kulinernya tidak setenar tempat-tempat lain. Bahkan kerabat atau kenalan dari luar kota sering bingung saat berkunjung ke Jombang. Di Jombang, kuliner semua daerah banyak ditemui. Soto Lamongan, Pecel madiun, Sate Madura, lalapan, ikan bakar, keripik tempe, lontong sayur, lontong kupang, onde-onde mojokerto, kerupuk udang sidoarjo, dan sebagainya ini sudah umum semua ya? So, aku tidak terinspirasi membahas kuliner Jombang.

Aku akan bercerita saja tentang kuliner di dua keluarga. Keluarga siapa? Keluargaku dan keluarga suamiku. Aku asli Jombang dan suami asli Jombang. Terus? Lanjut baca saja deh. Hahahaha!

Aku menikah pada Oktober 2013, usia 24 tahun 6 bulan. Selama usiaku itu, di rumah, koki satu-satunya dan terbaik adalah perempuan yang aku panggil Emak. Masa kecil kulalui di perumahan Telkom Samarinda, yang disana tetangga dari berbagai suku, Banjar, Dayak, Sunda, Jawa, dan lain-lain mengantarku memilih panggilan untuk ibu adalah Mamak. Tapi sepulang ke Jombang, usia TK, ternyata di Jombang tidak ada Mamak, adanya Emak, jadilah aku ubah panggilan untuk ibuku dari Mamak menjadi Emak. Tapi kita tidak akan membahas Emak atau Mamak, yang jelas beliau koki handal legendaries sepanjang zamanku.

Kembali ke kuliner keluargaku. Kami tidak hobi makan di warung, ekonomi pas-pasan. Hihihi…. Bahkan, sekolah selalu bawa bekal, sampai SMA. Hanya kuliash yang tidak bawa bekal. Sekarang, kerja juga bawa bekal sejak makan siang diwujudkan uang (Siapa yang mau makan siang dengan uang. Hahahah....!)

Tiap akhir pekan atau saat bapak gajian, barulah makan masakan warung, meski tidak di warung. Dapat gaji, pulangnya Bapak pasti bawa bakso atau sate yang jumlah porsinya setengah dari jumlah penghuni rumah. Di makan bersama-sama, aku sama Emak dan adikku sama Bapak. Sehari-hari juga tidak ada acara menghabiskan uang jajajn, sebab uang jajan hanya untuk sekolah saja. Tapi Emak rajin membuat makanan. Ote-ote (You know ote-ote?), dadar jagung, nagasari, lepet, lapis, bubur beras merah, kacang hijau, pisang goreng, selalu ada untuk camilan. Kalau adikku teriak memanggil tukang bakso, Emak selalu bilang, “Melu o wong e dodolan bakso kono!” Hahahaha… dan itu ampuh untuk aku dan adik tidak mengulangi lagi. Daripada berteriak memanggil tukang bakso, mending mengunyah ote-ote yang terlalu kaya sayur bagiku saat itu.

Emak yang pandai membuat berbagai makanan selalu kreatif, soto tahu, rawon tahu, bali kentang, perkedel non daging, dadar jagung wortel, sayur bayam, sayur sop, acar, kare tahu tempe, tumis pepaya, hemmm... semua itu selalu nikmat bagiku. Tapi ada beberapa masakan yang ternyata Emakku tidak canggih membuatnya dan baru aku tahu saat aku memiliki keluarga baru.

Di rumah mertua, hari pertama harus geleng-geleng. Meja makan menghidangkan semangkuk sayur namanya lompong. Sayuran yang lebih mirip batang daun pisang. Dan itulah saat pertama aku memakannya. Agak aneh, tapi di depan mertua masak iya aku memuntahkannya. Duh, menderita sedikit deh!

Beberapa hari kemudian, ada lagi masakan yang aneh di meja makan rumah mertua. “botokan” yang kukenal adalah “botokan” daun singkong, tapi ini daun yang cukup keras.

“Ini sayur apa, Bu?” Tanyaku, beneran pakai bahasa Indonesia, sebab mertuaku ala-ala begiu. Hahahaha….! Alasanku saja sih, sebab bahasa jawa karma-krama-anku belum mahir (sampai sekarang).

“Lere.”

Apa itu Lere? Ternyata daunnya laos. Bukan Negara Laos ya, ini laos bumbu dapur itu. Kata ibu mertua sih baik untuk kesehatan, dan seterusnya.

Saat pulang aku cerita ke Emak, dua masakan itu, lompong dan lere, kenapa tidak pernah mengenalkan masakan itu pada lidahku selama 24 tahun 6 bulan? Jawabannya Emak, “Beda generasi.”

Hehehe…. Lompong dan lere kata Emak, itu adalah makanan perjuangan, zaman berjuang dulu masakan itu ada, tapi sekarang sudah modern jadi masak yang lain saja. Padahal itu hanya alibi Emak. Sebenarnya Emak tidak bisa memasak lompong dan lere, selalu gatot alias gagal total.

Mertuaku memang sudah hampir 60 tahun, dan Emak baru kisaran 45 tahun. Selera beda, masakan beda. Anaknya tidak dikenalkan masakan zaman berjuang, padalah berjuang kan selalu dibutuhkan dalam hidup ini. Ih, apa sih?

Masih sama-sama Jombang. Emak tinggal di Jombang akhir selatan dan Ibu tinggal di Jombang akhir  utara. Aku menemukan kuliner baru diantaranya.

Dua keluarga yang masih satu daerah saja berbeda dalam hal meja makan, maka sebuah keniscayaan saat dua keluarga bertemu, mengikat laki-laki dan perempuan untuk bersatu dalam pernikahan akan ada perbedaan. Namun, perbedaan itu akan indah jika termakanakan sebagai kekayaan, hal yang baru, dan istimewa.

Apakah suamiku juga demikian, menemukan kuliner asing di keluargaku yang seumurnya (32 tahun waktu itu) belum dinikmati? Satu yang agak mengejutkan, saat aku memasak tumis buncis. Aku potong serong dan tipis buncis yang hijau-hijau manis itu hingga mirip serutan buncis, kemudian aku tumis dengan bumbu uleg bawang merah, tumbar, merica dan cabai. Kasih laos tipis, dan tidak lupa kecap manis. Apa komentar suami?

“Masakan aneh yang pertama masuk ke lambungku.”

Ternyata Ibu mertua belum pernah masak tumis buncis. Wew!

"Tapi enak," Komentarnya. Hoorrrreeeee!

Sejak saat itu, tumis buncis jadi menu andalanku merayu suami. Hehehe…..!

Sudah, ah! Nanti yang jomblo baper. Xixixixixi…!

(Yang di poto adalah rawon tahu ala Emak, menu kesukaan adikku)

Kamis, 22 Maret 2018

Kesamaran Cinta Dalam Keluarga


Ada yang berbeda di kelas menulis hari Selasa kemarin. Jika biasanya anak-anak menunggu kehadiranku dengan duduk-duduk di kursi sambil bercengkerama dengan temannya, maka kali ini semua kursi telah menyingkir, menyibak posisi tengah ruang hingga lapang. Tentu saja anak-anak sudah bersemburat duduk bersila. Kebanyakan mereka asyik dengan buku bacaannya, yang lain meraut pensil, sisanya saling bicara.

Sapa dan salam saya disambut dengan ceria. Lebih ceria lagi saat saya meminta mereka merapatkan lingkaran dan memulai kelas menulis.

"Kita akan menulis apa hari ini?" Tanya salah seorang dari mereka.

Nah, mulailah kelas menulis kami. Kali ini kami akan menulis dengan metode free writing yang idenya dari nama kita masing-masing. Aku mengarahkan mereka untuk menulis nama masing-masing, kemudian meminta mereka menuliskan tiga kata yang mereka pikirkan saat membaca namanya. Dari tiga kata itu, jadilah sebuah kumpulan kalimat.

Sampai pada proses menuliskaj nama dan memunculkan tiga kata dari namanya, lingkaran masih rapat, tapi pada proses selanjutnya, mengembangkan tiga kata menjadi cerita, aku instruksi untuk bebas gaya.

Hampir tidak ada perubahan posisi yang signifikan, kecuali seorang anak, namanya Zahra. Dia memilih untuk lebih merapatkan diri ke bangku, otomatis dia keluar lingkaran. Setelah aku dekati, ternyata ia baru menuliskan 1 kata dari namanya.

"Mbak Zahra, kata pertama yang muncul apa?" Aku bertanya.

Yang ditanya hanya tersenyum, perlahan akhirnya menunjukkan lembarannya. Aku membaca dengan upaya agak keras, sebab tulisan itu dengan pensil dan kacamataku tak ada (mur-nya lepas sebelah belum direparasi. hihihi...)

ZAHRA IZZATUL HAQ

Bunda

Tertegun. Tapi aku berusaha menyabarkan diri untuk menunggu ide besar itu sempurna. Dan inilah hasilnya.


ZAHRA IZZATUL HAQ

Bunda
Ayah
Sayang

Nama saya Zahra Izzatul Haq. Saya lahir tahun 2007. Nama Zahra Izzatul Haq diberikan oleh Ayah dan Bundaku tersayang. Bunda dan Ayah memberi nama itu dengan harapan aku menjadi anak perempuan yang senantiasa membela kebenaran. Aku menyayangi mereka. Rasa sayangku pada mereka sebesar rasa sayang mereka kepadaku.

Cinta.
Itulah kata pertama yang muncul padaku usai membacanya. Ada cinta yang benar-benar terurai dengan tegas, terejawantahkan dengan lugas.

Keluarga.
Setelah 'Cinta', berikutnya adalah 'Keluarga'. Jika ada tempat yang paling penuh dengan cinta, maka jawabannya adalah keluarga.

Zahra menginspirasiku tentang keluarga yang penuh cinta.

Orangtua mana yang tidak bangga saat anaknya menyadari besar cintanya dan membalasnya dengan bakti dan cinta yang luar biasa?

Membesarkan anak dengan cinta adalah niscaya, memahamkan anak dengan cinta tanggungjawab orangtua. Pada hal mendasar, tentang arti sebuah nama pada anak, orangtua yang memahamkan dengan penuh cinta akan membuat si anak menggenggam namanya dengan bangga.

Usai kelas menulis, aku melewati halaman sekolah untuk mneuju parkiran motor. Lapangan yang tidak pernah sepi. Di satu sisi ada latihan baris berbaris, di sisi yang tersisa bola sedang direbutkan banyak kaki. Aku berusaha menerobos sambil berharap bola tidak menimpuk kepalaku. Duh, malunya jika itu terjadi. Hehehehe.....

Saat asyik melintas itulah langkahku terhenti, sebab ada yang menyapa.

"Assalamu'alaikum, Ustadzah!"

Aku tertegun, di hadapanku sudah berdiri seorang siswa, dengan tangannya dilipat di dada memberi salam. Tak lupa senyumnya dipasang dengan manis meski napasnya berburu naik-turun efek bermain bola.

Benar-benar aku tidak sempat membalas alamnya dengan suara keras, hanya dalam hati. Malah yang terucap adalah, "Mas Ayyas?!!!"

Kalau ada yang mendokumentasi, mungkin mirip di sinetron, ada wajah terkejut plus bahagia seperti baru melihat wajah yang lama tidak terlihat.

Siswa yang di hadapanku mengangguk dan senyumnya melebar.

"Kelas berapa sekarang?" Tanyaku dengan girang. Hihihihi.....!

"Kelas enam, Ustadzah," Jawabnya dengan bangga.

Wow! Aku berbinar, takjub, "Habis ini SMP donk? Salam ke Umi ya?" Kataku, sebelum kemudian mengucap salam, pamit. Sebenarnya pamit cepat-cepatku karena bola sudah melayang-layan diantara kami. Aku khawatir ketimpuk. Eh?

Menuju motor aku masih geleng-geleng.

"Ayyas sudah sebesar itu? Kalau saja dia kelas tiga, bukan kelas enam, maka pipinya sudah aku cubit," Gumamku dalam hati sambil tertawa sendiri, geli. Wkwkwkwkw....

Ayyas.

Putra sholih salah seorang guru saya. Dulu masih sangat kecil saat  sering ikut kajian umminya dan sering bermain denganku. Yang palin aku ingat, dia suka menyanyi. entah sekarang. Hahahaha.....

Tapi, sapaannya tadi benar-benar mengingatkanku, betapa ia tumbuh dengan cinta. Keluarganya membesarkannya dengan cinta yang tegas, tidak samar-samar.

Ayah, Bunda! Anak-anak itu polos, dia lebih mudah mengimitasi apa yang ia lihat, apa yang ia rasa, dan apa yang ia dapatkan. Sebagai orangtua, agar anak kita tumbuh menjadi manusia yang penyayang, maka ia harus melihat wujud sayang, ia harus merasa disayangi, dan ia harus mendapatkan kasih sayang.

Jangan lagi ada sayang yang dibungkus dengan hadiah-hadiah mahal tanpa perjumpaan! Jangan lagi menampakkan cinta dengan uang. Jangan samarkan![]

(Endingnya, aku baru sadar. Ternyata Zahra adalah putrinya Bunda Umi Kulsum. Hihihi.....!)





Senin, 12 Maret 2018

Semua Itu Terjadi Di Bumi




Mengapa perjalanan semalam itu begitu sempurna? Seorang manusia diajak rihlah, berkunjung dari satu langit ke tingkatan-tingkatan di atasnya, berkunjung ke Singgasana Terbaik, kemudian pulang dengan hadiah istimewa berupa sholat lima waktu dalam sehari yang hikmahnya terasa bagi seluruh ummat manusia. Dalam perjalan yang tersebut sebagai isra’mi’raj, kisah perjalan Rasulullah saw. ini menjadi fenomenal sepanjang sejarah kehidupan.

Setiap tahun kita bahkan mengenangnya, sebab memang banyak hikmah yang dapat kita petik dari sepenggal kisah perjalanan istimewa itu. Mengapa perjalanan semalam itu begitu sempurna?

Sebelum Rasulullah saw. melaksanakan perjalan ke langit, oleh malaikat, hati beliau dibersihkan dengan tingkat suci tertinggi bagi manusia. Kemudian para malaikat menyiapkan kendaraan terbaik, digambarkan lebih besar dari keledai tapi lebih rendah dari baghal dengan kecepatan secepat kilat. Juga malaikat mengajarkan kepada beliau membaca doa agar terhindar dari gangguan selama perjalanan. Ini berhikmah pada kita bahwa, perjalanan yang luar biasa itu tidak terjadi begitu saja.

Perjalanan yang sempurna dalam semalam itu sebelumnya telah melalui sebuah persiapan. Proses penyucian hati yang sempurna, kendaraan yang disiapkan dengan sebaik mungkin, dan doa terbaik diajarkan untuk dibaca. Inilah bagian dari perjalan sempurna itu.

Pertanyaannya sekarang, dimanakah semua itu terjadi? Jawabannya adalah bumi.

Persiapan matang untuk perjalanan istimewa itu terjadi di bumi. Tiga malaikat, yaitu, Jibril, Mikail, dan Israfil menjemput Rasulullah saw., dibawa ke sumur zam-zam untuk pembelahan dada dan penyucian tingkat tertinggi, bukan langsung menunaikan perjalanan, meskipun secara logika, waktunya terbatas: semalam saja.

Mari ambil hikmahnya! Jika ada tempat yang paling penuh dengan cinta, maka jawabannya adalah bumi. Sehingga untuk menyucikan hati Rasul tercinta dilakukan di bumi dengan salah satu komposisi bumi itu sendiri, yaitu air, dalam hal ini air suci zam-zam. Kita semua tahu bahwa air zam-zam adalah air cinta yang kisahnya tidak lepas dari rasa cinta antara Allah swt. kepada hambanya hingga cinta seorang ibu, yakni Hajar kepada putranya.

Betapa Allah swt. menciptakan bumi dengan sepenuh cinta, kemudian memilihnya pula untuk menjadi pendaratan Adam dan Hawa merajut cinta. Penciptaan bumi adalah dengan kesempurnaan cinta dari Allah swt. semuanya sempurna, tidak ada pemakluman sekecil apapun. Ukurannya, komposisinya, strukturnya, pergerakannya di tata surya, hingga pada makhluk-makhluk ciptaanNya yang menghuni.

Tempat itu bernama bumi. Sebelum manusia melaksanakan perjalan jauh menuju Rabb-nya, maka bumi adalah tempat persiapan segalanya. Perjalanan manusia menuju Allah swt. adalah bukan perjalanan yang begitu saja. Jika Rasul saw. dalam peristiwa isra’mi’raj saja disiapkan sedemikian rupa sebelum berkunjung ke Arsy’Nya, maka apalah kita sebagai manusia biasa kelak ketika perjumpaan dengan-Nya tiba.

Setiap kehidupan kita di bumi adalah dalam rangka menyiapkan perjalanan panjang menuju alam kekal bernama akhirat. Apa lagi yang pantas kita lakukan selain menyiapkan perjalanan yang tidak biasa itu selain menyambut kematian dengan sebaik mungkin? Menyiapkan amal-amal terbaik sebagai kendaraan yang mumpuni untuk melewati jauhnya perjalanan menuju Allah swt., dan doa-doa tawakkal yang seharusnya senantiasa kita panjatkan: Semoga Allah swt. merahmati kita, dan kelak kita dapat bertemu dengan-Nya.

Sekali lagi, segala persiapan itu (bisa) terjadi di bumi.[]