“Tak apalah terlambat barang lima menit saja,” Kata seorang manager
perusahaan saat berangkat meeting dengan terburu-buru.
“Dalam satu tahun, bolos kerja satu hari tak akan apa-apa,” Ujar
seorang guru SD saat ditanya tetangga alasannya tidak mengajar hari ini.
“Kurang sedikit barang yang harus kita beli untuk acara besok pagi,
besok saja kita beli. Kalau tidak keburu ya tidak usah pakai barang itu tidak
apa-apa.” Ucap Event Organizer dalam rapat finishingnya.
Dst......
Saudara, seringkah kita menjumpai pemakluman-pemakluman demikian dalam
kehidupan kita? tentu jawabannya: Iya. Kita sering bahkan hampir selalu
menganggap wajar saat kita janji bertemu di lima belas atau tiga puluh menit
setelah waktu yang kita janjikan. “Budaya Indonesia, jam karet!!!”begitu yang
sering kita dengar. Tapi kita tak pernah merasa malu dengan semua itu, buktinya
budaya ini semakin mengakar.
Sadarkah kita, ternyata sikap pemakluman tidaklah berlaku pada
penciptaan yang dilakukan Allah swt. sebagai contoh saat Allah menciptakan dan
menggerakkan galaksi ini. Allah menciptakannya dengan sempurna, dan
menggerakkannya dengan tanpa pemakluman. Tidak Dia tambahi dan tidak pula Dia
kurangi.
Bagaimana jadinya jika Bumi ini penciptaannya dikurangi Allah swt
dengan diambilnya lapisan atmosfernya? Bagaimana jika dalam dalam hidup ini
lima menit saja bumi dihentikan rotasinya? Bagaimana jika lintasan planet
diambil satu saja untuk beberapa detik? Kehancuran..... itulah yang akan
terjadi. Galaksi ini akan berantakan dan efeknya adalah pada keselamatan
manusia.
Contoh lain, misalkan dalam menciptakan manusia, bagaimana jika Allah
meninggalkan telinga yang jumlahnya lebih dari dua? Mengurangi mata manusia
menjadi satu saja? Atau Allah tidak menciptakan bulu mata untuk mata kita?
Sukakah kita jika demikian? Lantas, apa yang terjadi jika dalam tiga detik saja
paru-paru berhenti bekerja, dan lima detik saja jantung istirahat, tidak
memompa darah?
Allah
swt. adalah Dzat yang Maha Kuat dan Pemberi Kekuatan, sedangkan manusia adalah
makhluk lemah yang perlu dikuatkan. Ini terbukti dari perbedaan cara kerja
Allah swt. dengan makhluknya yang bernama manusia. Oleh karenanya, Allah swt.
mengajarkan kepada kita untuk bersungguh-sungguh dalam melakukan aktivitas.
Membuat pekerjaan kita terlaksana dengan sebaik mungkin, bukan melakukannya
sekedarnya saja. Sebuah maksimalitas dalam berbuat baik, bukan memaklumi tanpa
ada rasa malu dan tanpa mengambil usaha perubahan menuju yang lebih baik.
Masihkah
kita berbangga diri dengan budaya karet dan sekedarnya saja? Benarkah jika kita
terus memakluminya tanpa mengubah semua itu?[]